Bulan Rajab memang telah berganti dengan Sya’ban. Namun peristiwa Isra dan Mi’raj Baginda Nabi Muhammad SAW senantiasa dikenang. Membuat kaum muslimin semakin merindukan bahkan mengimpi-impikan untuk dapat menziarahi salah satu tempat yang menjadi persinggahan Rasulullah, yaitu Masjidil Aqsha di Baitul Maqdis, Yerusalem.
Ini merupakan wilayah terpanas di dunia, yang tak pernah reda oleh pertikaian berdarah. Saat ini, kota tua ini dikuasai oleh Yahudi. Menziarahinya sangat sulit. Jika bukan karena keimigrasian, ya karena faktor keamanan, yang membahayakan jiwa para peziarah.
Untuk mengisi kerinduan itu, ada baiknya kita mengikuti kota purba yang konon sudah ada sejak zaman Sam, putra Nabi Nuh AS, yang kemudian menjadi rebutan tiga agama.
Dari akar sejarahnya, berdasarkan penemuan arkeologi, kota tersebut telah berperadaban kuno sejak 3.000 SM. Yang pertama kali bermigrasi ke kota ini adalah bangsa Semit, yaitu bangsa Kanaan, suku-suku pertama yang bermigrasi dari Semenanjung Arabia. Ini bisa dilihat dari penamaan kota-kota tersebut, misalnya Jericho, Beit-Syam, Mejeddo, dan Juzer.
Di Jericho dan Majeddo terdapat peninggalan paling tua dari bangsa Kanaan berupa kuil-kuil kuno yang dibangun sekitar 3.000 SM. Kota Yerusalem sendiri merupakan bukti yang paling baik dari kekunoan permukim-permukim bangsa Arab-Semitik purba di Palestina.
Kota itu didirikan oleh suku-suku Jebus, yaitu cabang dari bangsa Kanaan, sekitar 5.000 tahun yang lalu. Sebuah naskah kuno di Tell el Amarna yang ditulis 1400 SM menyebut kota itu dengan nama Urusalim.
Jadi jelaslah bahwa kota tersebut telah ada jauh sebelum bangsa Israel memasuki Palestina. Yang pertama merencanakan dan mendirikan Yerusalem adalah seorang raja bangsa Jebus-Kanaan: Melchisedec, yang percaya akan ke-Esa-an Tuhan, walaupun rakyatnya kebanyakan musyrik.
Ibn Al-Firkah, sejarawan berdarah Arab, dalam bukunya Baith Alnufus ila’Ziyarat Al-Quds Al Mahrus menulis bahwa Sam bin Nuh sangat mungkin merupakan pendiri Kuil Yerusalem. Kuil Yerusalem ini dalam bahasa Arab disebut Baitul Maqdis, Rumah Suci. Beberapa nabi Allah meneruskan upaya Sam bin Nuh AS untuk memeliharanya.
Pada tahun 2000-1500 SM, Nabi Ibrahim AS bersama istrinya, Sarah, bapak, dan saudara sepupunya, Luth AS, hijrah dari Baitul Maqdis.
Nabi Ibrahim AS dari Siti Hajar mempunyai anak Nabi Ismail AS, dan dari Siti Sarah mempunyai anak Nabi Ishaq AS. Nabi Ishaq tetap tinggal di Palestina, hingga beliau memiliki keturunan bernama Nabi Ya’qub, yang mempunyai julukan “Israil”, yang artinya “Hamba Tuhan”.
Nabi Ya’qub mempunya 12 putra, salah satunya Nabi Yusuf AS, yang ketika kecil dibuang oleh saudara-saudaranya, yang dengki kepadanya. Nasibnya yang baik membawanya ke tanah Mesir dan kemudian dia menjadi bendahara kerajaan Mesir.
Ketika masa paceklik, Nabi Ya’qub beserta putra-putranya bermigrasi ke Mesir. Di Negeri Piramida ini keturunan Nabi Ya’qub pun berkembang, yang kemudian dinamakan Bani Israil.
Pada tahun 1550 SM, politik di Mesir berubah. Bangsa Israel dianggap sebagai masalah bagi Mesir. Banyak dari bangsa Israel yang lebih pintar dari orang asli Mesir dan menguasai perekonomian. Oleh pemerintah Firaun, bangsa Israel diturunkan statusnya menjadi budak.
Pada tahun 1200 SM, Nabi Musa AS memimpin bangsa Israel meninggalkan Mesir, mengembara di Gurun Sinai menuju tanah yang dijanjikan, asalkan mereka taat kepada Allah SWT – dikenal dengan cerita Nabi Musa AS membelah laut ketika bersama bangsa Israel dikejar-kejar oleh tentara Mesir menyeberangi Laut Merah. Namun saat diperintah untuk memasuki tanah Filistin (Palestina), mereka membandel dan berkata, “Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini.” (QS 5: 24).
Akibatnya mereka dikutuk Allah SWT dan hanya berputar-putar di sekitar Palestina. Belakangan agama yang dibawa Nabi Musa AS disebut Yahudi, sesuai salah satu marga bangsa Israel yang paling banyak keturunannya, yakni Yehuda. Dan akhirnya bangsa Israil – tanpa memandang warga negara atau tanah airnya – disebut juga orang-orang Yahudi.
Pada tahun 1000 SM, keturunan Nabi Musa AS, yaitu Nabi Daud AS, mengalahkan Goliath (Jalut, Quran) dari Palestinan. Palestina pun direbut dan Daud dijadikan raja.
Dua belas suku Israel disatukan di bawah pemerintahan Nabi Daud, menjadi bangsa yang kuat. Allah SWT meridhai Nabi Daud karena keimanannya.
Wilayah kerajaannya membentang dari tepi Sungai Nil hingga Sungai Eufrat di Irak. Sekarang ini Yahudi tetap memimpikan kembali kebesaran Israel seperti yang dipimpin Raja Daud, sebagai Israel Raya. Bendera Israel adalah dua garis biru (Sungai Nil dan Eufrat) dan Bintang Daud.
Kepemimpinan Daud AS diteruskan oleh anaknya, Nabi Sulaiman AS, dan Masjidil Aqsha pun dibangun kembali.
Kerajaan Israel mencapai zaman keemasannya di bawah kepemimpinan putranya, Nabi Sulaiman AS, yang memerintah sekitar 970-930 SM.
Nabi Sulaiman inilah yang membangun kanisah atau sinagoga yang terkenal dengan sebutan Haykal Sulaiman I (atau Solomon Temple, Kuil Sulaiman).
Ada hal yang menarik dalam kisah Nabi Sulaiman ini. Suatu ketika, Nabi Sulaiman memasuki mihrabnya untuk i'tikaf, beribadah menyembah Allah. Mihrab yang terletak di puncak Gunung Moria itu sedang dalam proses didirikan oleh bala tentarannya dari bangsa jin. Bangunannya sangat megah nan indah, dindingnya terbuat dari permata dan emas, yang didatangkan dari Thirsis, dan batu mulia, dari Yaman.
Duduk khusyu’, sambil memegang tongkat kesayangannya, Nabi Sulaiman tenggelam dalam tafakur memuji kebesaran-Nya. Ia berdzikir kepada Allah SWT hingga rasa kantuk menguasainya.
Tak lama setelah itu malaikat maut menemuinya. Nabi Sulaiman pun dijemput menghadap-Nya. Sementara di luar sana jin, yang sedang asyik bekerja, terus menyelesaikan tugasnya. Hari berganti hari, tak ada yang mengetahui kepergian Nabi Sulaiman, hingga datang binatang rayap yang sedang lapar mencari makanan. Hewan kecil itu mulai memakan tongkat Nabi Sulaiman. Perlahan tapi pasti, tongkat itu pun menjadi rusak, dan akhirnya jatuh dari tangan Nabi Sulaiman.
Tubuh mulia nan gagah itu kehilangan keseimbangan dan terhempas ke bumi. Tatkala tubuh suci itu tersungkur, datanglah anak buah dan bala tentarannya, mulai dari golongan manusia, binatang, hingga jin. Mereka baru menyadari bahwa Nabi Sulaiman telah menghadap Sang Pencipta sekian lama, tapi jasadnya tetap utuh.
Ya, Nabi Sulaiaman, pewaris kerajaan Nabi Daud AS, pemilik kerajaan dan kekuasaan yang tak seorang pun menyerupainnya, berkat izin dan kuasa-Nya, seperti doa yang dia panjatkan, “Ya Allah ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahilah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seseorang pun sesudahku” (QS Shad: 35), tetap khusyu’ beribadah di tengah nikmat yang berlimpah, hingga ajal menjemput.
Tentu keindahan dan kebesaran yang dimilikinya tidak dimaksudkan memalingkan manusia dari menyembah Allah SWT. Dan kebesaran bangunan itu merupakan simbol kekuatan negara dan sekaligus kekuatan aqidahnya.
Sayang, mihrab, Baitullah, atau yang lebih dikenal dengan Haikal Sulaiman, yang megah, hancur lebur oleh tentara Babilonia, di bawah Raja Nebukadnezar, saat merebut paksa Yerusalem pada tahun 586 M.
Senario Allah
Para mufassir menafsirkan bahwa penghancuran Haikal Sulaiman adalah bagian dari skenario Allah sebagaimana dikisahkan dalam Al-Quran surah Al-Isra ayat 4 sampai 6, lantaran sepeninggal Nabi Sulaiman bangsa Yahudi banyak yang berpaling dari ajaran Allah. Keindahan dan kebesaran kerajaan serta Haikal Sulaiman membutakan mata hati Bani Israel dan akhirnya berpaling dari-Nya. Mereka hanya mengagumi kulit, tapi meninggalkan hakikat.
Seiring berjalannya waktu, tentara Persia menguasai Babilonia. Raja Persia memperbolehkan bangsa Israel, Yahudi, kembali ke Yerusalem pada tahun 614 SM hingga 629 SM. Dan Haikal Sulaiman dibangun kembali oleh Koresy yang Agung di lokasi bekas reruntuhannya.
Setelah kematian Koresy yang Agung, kota ini jatuh ke tangan Roma pada tahun 70 M
Semasa pemerintahan Roma, masyarakat Yahudi di Yerusalem memberontak. Namun tentara Roma mematahkan pemberontakan tersebut dan memusnahkan Haikal Sulaiman II. Bahkan Kaisar Bizantium Romawi, Constantine, menjadikan Yerusalem sebagai pusat keagamaan Kristen, dengan membangun Church of the Holy Sepulcher pada tahun 335 M. Mengingat lokasi suci Haikal Sulaiman, yang juga diyakini sebagai tempat i’tikaf Siti Maryam, ibunda Nabi Isa As, yang selalu mendapat hidangan (al-maidah) dari langit setiap hari. Juga sebuah mihrab Nabi Zakariya AS, tempat yang selalu digunakan untuk beribadah kepada Allah, juga bermunajat dan meminta diberi keturunan yang shalih, meski usianya tak lagi muda.
Dari bangunan Haikal Sulaiman II, yang tersisa hanyalah sebagian dinding pembatas luar, yang dikenal sebagai Tembok Barat, sekitar 60 m.
Kini dinding itu dikenal dengan sebutan ”Tembok Ratapan”, lantaran di tempat itulah bangsa Yahudi berdoa dan meratapi dosa-dosa mereka dengan penuh penyesalan. Selain mengucapkan doa-doa, mereka juga menuliskan doa dan harapan pada sepotong kertas yang disisipkan pada celah-celah dinding yang dibagi dua dengan sebuah pagar pemisah untuk memisahkan laki-laki dan perempuan.
Tujuan Mi’raj
Kawasan Haikal Sulaiman II, yang kini lebih dikenal sebagai Kompleks Al-Haram Asy-Syarif, Tanah Haram yang Mulia, disebut pula Al-Quds (yang tersucikan) atau Baitul Maqdis, yang berada di kota lama Yesrusalem, Yerusalem Timur, memiliki nilai spiritual yang sangat tinggi.
Begitu sucinya Baitul Maqdis, Allah juga menjadikan tempat itu sebagai tujuan Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Sebagimana dikisahkan dalam Al-Quran, surat Al-Isra ayat 1, “Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masdil Aqsha....”
Rasulullah berangkat dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsha yang berada di kawasan Kompleks Baitul Maqdis pada tahun 621 M. Di kompleks itu pula terdapat sebuah batu karang yang dijadikan pijakan Rasulullah sesaat sebelum Mi’raj ke Sidrathul Muntaha. Batu dengan sepuluh anak tangga yang sangat elok rupanya itu dengan izin Allah dapat bergerak naik dan turun, dari satu tingkatan ke tingkatan berikutnya.
Rentetan sejarah bernilai spiritual tersebut menjadikan tempat itu diperebutkan oleh umat Yahudi, Kristen, dan Islam. Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, tahun 638 M, umat Islam berhasil menaklukkan Yerusalem tanpa peperangan. Sayyidina Umar sempat membersihkan dan melakukan shalat di Masjidil Aqsha, saat mengunjungi Yerusalem.
Pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari Kekhalifahan Dinasti Umayyah, sekitar tahun 66 H hingga tahun 73 H, Masjdil Aqsha, yang hanya berupa mihrab tempat beribadah, direnovasi. Dan cucunya, Al-Walid, memperluas bangunan Masjid Aqsha menjadi sangat megah, dengan arsitektur Islam klasik seperti sekarang.
Sementara pada batu karang yang berada di sebelah utara Masjidil Aqsha, masih di kawasan Al-Haram Asy-Syarif, dibangun sebuah kubah bernama Qubbatush Sakhra, lebih terkenal di dunia internasional dengan nama The Dome of the Rock. Qubbatush Sakhra sengaja dibangun untuk melindungi batu karang pijakan kaki Rasulullah sesaat sebelum Mi’raj itu.
Selain mengabadikan sejarah bernilai spiritual, pembangunan kubah yang kini menjadi lebih indah itu juga menghindari perbuatan-perbuatan yang merusak aqidah, yang banyak dilakukan wisatawan ziarah.
Kemudian pada masa Khalifah Abdul Malik, putra Marwan, tahun 685-705 M, Qubbatush Sakhra direnovasi.
Dua bangunan tersebut, Masjdil Aqsha dan Qubbatush Sakhra, kini ibarat dua sejoli. Keduanya menjadi mata rantai lintasan sejarah Islam. Terutama dalam peristiwa Isra Mi’raj. Bahkan, Sakhra pernah menjadi patokan arah kiblat umat Islam selama 13 tahun, 17 bulan, sebelum kiblat dialihkan ke Ka’bah di Makkah, sesuai perintah Allah SWT.
Belakangan bangsa Yahudi kerap mengekspos Qubatus Sakhara sebagai Masjidil Aqsha. Sebagian besar umat Islam menilai, itu semua untuk mengelabui umat Islam. Mengingat, hingga kini bangsa Yahudi masih menginginkan kawasan Al-Haram Asy-Syarif untuk kembali dibangun Haikal Sulaiaman.
Terlepas dari sejarah panjang kawasan suci yang disucikan itu, hinga kini, di tengah proses perdamaian di Palestina, banyak peziarah, baik muslim maupun non-muslim, datang ke Masjidil Aqsha dan Qubbatush Sakhra. Di samping untuk tujuan keagamaan, sekaligus juga untuk menikmati keindahan seni arsitektur Islam Abad Pertengahan yang menghiasi Masjidil Aqsha dan Qubbatush Sakhra, di tengah lingkunagn yang sangat sejuk dengan hamparan rerumputan hijau dan naungan teduh pohon zaitun
Europe Travel Made Easy - Schengen Visa
-
*What is Schengen Visa?*
If you plan to travel to European countries that implement Schengen
agreement, a "Schengen Visa" simplifies your travel between ...
15 years ago
No comments:
Post a Comment